HUTANG LUAR NEGERI PEMICU KRISIS
EKONOMI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Ekonomi dalam suatu bangsa adalah suatu hal
yang sangat vital. Negara yang memiliki ekonomi yang kuat dapat dipastikan
bahwa negarannya tersebut mampu menjamin kesejahteraan warga negarannya, baik
dalam hal pendidikan, sosial-budaya, perkembangan pembangunan infrastrukturnya
ataupun dalam segi yang lain. Berbeda dengan negara yang memiliki kondisi
perekonomian yang lemah. Negara dengan kondisi ekonomi yang lemah cenderung
memiliki kehidupan yang kurang layak dari berbagai aspek. Seperti terjadinnya
kemiskinan diberbagai wilayah, ketidakrataan perekonomian tiap daerah ataupun
masalah penumpukan hutang yang menyebabkan perekonomian pada negara tersebut
semakin krisis. Ketika krisis ekonomi telah melanda maka warga negarannya pun
sudah kehilangan sebuah kemanan dan kenyamanan untuk tinggal pada negarannya
sendiri.
Negara Indonesia yang selama ini dipandang
sebagai negara stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis, ternyata
begitu ditimpa badai krisis, seluruh bangunan ekonominya runtuh, persatuan
nasional Indonesiapun mengalami kerapuhan.
Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi,
menunjukkan kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun.
Praktek monopoli, konglomerasi dan ekonomi kapitalistik mematikan usaha-usaha
ekonomi kerakyatan, memperluas kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial.
Kondisi ini semakin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis
istilah hutang luar negeri dengan bantuan luar negeri. Celakanya lagi
hutang luar negeri/ bantuan luar negeri dari negara-negara donor, dan
lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak yang
dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tingkat kebocoran ini
cukup signifikan, menurut begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo,
mencapai 30% dari total anggaran pembangunan[1].
Jefrey A. Winters, seorang ekonom dari
Northwestern University AS mengemukakan bahwa paling tidak sepertiga dari
bantuan (pinjaman) Bank Dunia untuk Indonesia bocor di birokrasi Indonesia.
Dalam hasil survey Transparancy International terhadap
52 negara, Indonesia menempati peringkat ke-7 dan di antara negara ASEAN,
berada pada peringkat pertama[2].
Pada dasawarsa 1990-an, jumlah hutang luar
negeri Indonesia menempati peringkat ke-5 di antara negara dunia ketiga,
setelah Meksiko, Brazil, India dan Argentina[3]. Akibat
krisis ekonomi yang sangat parah ini, menjadikan Indonesia sebagai negara
dengan rasio stock hutang per GDP tertinggi di dunia, mengalahkan negara-negara
yang selama ini terkenal sebagai pengutang terbesar, seperti Meksiko, Brazil
dan Argentina[4].Persoalan
hutang luar negeri ini bila tidak diselesaikan dengan baik akan dapat
menghambat pemulihan ekonomi dan menjatuhkan martabat bangsa Indonesia di mata
dunia internasional. Dalam makalah ini akan dipaparkan bagaimana kebijakan
makro ekonomi Islam terhadap persoalan hutang dan solusi yang ditawarkan untuk
menyelesaikan krisis hutang luar negeri secara baik, manusiawi dan berkeadilan
sosial.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan hutang luar negeri?
2.
Apakah penyebab dari hutang luar negeri?
3.
Beban apa sajakah yang ditimbulkan dari hutang
luar negeri?
4.
Bagaimana hutang luar negeri dapat menyebabkan
krisis perekonomian di Indonesia?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
1.
Melengkapi nilai tugas mata kuliah Manajemen
Pembangunan Daerah
2.
Mengetahui pengertian dari hutang dan hutang
luar negeri
3.
Mengetahui penyebab hutang luar negeri
4.
Mengetahui dampak hutang luar negeri bagi
Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
Suatu Negara harus melakukan berbagai kegiatan
guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, budaya maupun politik
bangsanya. Kegiatan-kegiatan ini memerlukan banyak pengeluaran yang pada
gilirannya harus dibiayai dengan penerimaan negara. Sumber penerimaan Negara
yang utama adalah dari pajak, utang negara dan pencetakan uang. Terkait dengan
masalah sumber-sumber pembiayaan pembangunan negara, di samping sisa penerimaan
dalam negara setelah digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin (yang disebut
dengan tabungan negara), besarnya penerimaan hasil eskpor yang berupa devisa,
hasil penghematan pengunaan devisa melalui usaha-usaha impor substitusi dan
juga tidak kalah penting adalah masalah utang negara (pinjaman negara) baik
dari dalam maupun luar negeri.
Definisi utang itu
sendiri ialah kewajiban yang harus diselesaikan sesuai dengan kesepakatan dari
pihak yang terlibat di sana, dimana berbagai ketentuan tersebut mengandung hak
dan kewajiban sebagai bentuk kompensasi[5].
Sedangkan yang dimaksud dengan Utang luar negeri adalah utang yang berasal dari
orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain. Utang Luar negeri biasanya
bersifat sukarela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas
negara lain. Utang luar negeri mencakup pemindahan kekayaan (dana) dari negara
yang meminjamkan (kreditur) ke negara peminjam ( debitur) pada saat terjadinya
utang. Aliran kekayaan yang sebaliknya akan terjadi apablia terdapat pembayaran
bunga dan cicilan pokok utang yang bersangkutan. Utang luar negeri dapat
menjadi utang dalam negeri apabila terjadi pembeliaan surat-surat obligasi atau
surat berharga oleh penduduk negara debitur dari negara kreditur[6].
Utang Luar Negeri
biasannya timbul karena suatu Negara mengalami kekurangan dana berhubung
terbatasnya sumber-sumber dana didalam negeri. Bagi Negara-negara yang sedang
berkembang yang ingin mempercepat laju pertumbuhan ekonominya dan kemudian
dapat menyamai taraf hidup di Negara-negara maju, investasi dalam jumlah yang
besar perlu dijalankan, sehingga hasilnya tidak akan hanya diserap oleh
pertambahan penduduk. Memang dibanyak Negara yang sedang berkembang, umumnya
tingkat investasi adalah rendah (4-5% per tahun dari pendapatan nasional),
sehingga Negara-negara tersebut seringkali berada pada perangkap pendapatan
keseimbangan yang rendah (law level equilibrium trap)[7].
Kalau suatu negara mempunyai utang, maka pengelolaan dari utang Negara itu
sangat penting demi kestabilan dan pertumbuhaan dari pendapatan nasional.
Secara umum ada beberapa persoalan yang sering terjadi dimana
utang atau pinjaman yang dianggap sebagai solusi dalam pembangunan namun telah
berubah sebagai petaka. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapa sebab,
seperti:
1. Terjadinya fluktuasi
harga komoditi eskpor suatu Negara yang cenderung semakin menurun. Sehingga
menyebabkan stabilitas harga tidak tercapai pada titik yang diharapkan. Kondisi
ini menyebabkan pendapatan atau devisa Negara menurun.
2. Krisis ekonomi dan
depresi ekonomi yang melanda suatu Negara bahkan kawasan. Seperti krisis pada
tahun 1997, krisisi Yunani 2012. Serta deepresi besar di tahun 1929 sampai
dengan tahun 1932.
3. Tindakan coup d’etat.
Coup d’etat atau kudeta adalah suatu tindakan yang dilakukan secara illegal dan
bersifat memaksa untuk menjatuhkan jabatan seseorang karena factor tidak
dipercaya lagi.
4. Terjadinya demonstrasi
yang berlarut-larut. Dampak demonstrasi yang berlarut-larut ini sangat terasa
terutama pada sector bisnis yang mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas
produksi dan penjualan. Kasus demonstrasi tahun 1998 di Indonesia juga menjadi
penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah dan berlanjut hingga timbulnya krisis
monoter.[8]
Beban
utang luar negeri dapat dibedakan menjadi beban dalam arti uang (in money term)
dan beban dalam arti riil (in real term). Selama jangka waktu tertentu, beban
uang langsung dapat diukur dengan suatu jumlah pembayaran tertentu dalam bentuk
uang. Baik dalam hal pembayaran bunga maupun cicilan utang kepada Negara
kreditur. Sedangkan beban riil langsung yang diderita Negara peminjam berupa
kerugian dalam bentuk kesejahteraan ekonomi yang hilang karena adanya
pembayaran cicilan utang dan bunga dalam bentuk uang tadi. Hilangnya
kesejahteraan ekonomi ini dapat diukur dengan besarnya guna (utility) yang
hilang dari Negara tersebut sebagai akibat dari berbagai macam pembayaran
utang.
Oleh karenanya meskipun beban uang
langsung itu tetap besarnya, beban riil langsung akan berbeda-beda sesuai
dengan proporsisi sumbangan anggota masyarakat terhadap pembayaran utang
tersebut. Jika pembayaran itu dipikul terutama oleh golongan kaya, beban
langsung riil akan lebih ringan daripada kalau pembayaran itu dipikul oleh
golongan-golongan yang kurang mampu atau golongan miskin. Tetapi seringkali
Negara-negara kreditur mempergunakan hasil pembayaran bunga dan piutang itu
untuk membeli barang dan jasa (mengimpor) dari Negara-negara debitur itu
sendiri, sehingga akan mengakibatkan ekspor Negara debitur meningkat. Ini lebih
menguntungkan Negara debitur tersebut karena Negara debitur dapat menjual
barang atau jasa ke Negara kreditur.
Beban tidak langsung dari utang luar
negeri apakah itu dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk riil timbul karena
adannya pengaruh-pengaruh yang terjadi dalam bidang produksi dan konsumsi
melalui pemungutan pajak yang diperlukan untuk melakukan pembayaran-pembayaran
bunga dan cicilan utang serta melalui duksi dengan dana hasil utang tersebut.
Utang luar negeri ini memiiliki atau
menghadapi beberapa rintangan atau pembatasan. Batasan umum adalah mengenai
kapasitas Negara peminjam tersebut untuk membayar kembali utang dan bunga-nya
di masa yang akan datang. Di Negara-negara sedang berkembang, oleh karena
lambannya pertumbuhan ekspor hasil-hasil produksi primer, penerimaan devisa
dari hasil ekspor itu dipergunakan untuk mengimpor barang-barang yang perlu
bagi pembangunan ekonomi dan hanya jumlah tertentu yang dipakai untuk membayar
kembali utang dan bunganya.
Selama masa inflasi tahun 1960-an
penerimaan devisa dari hasil ekspor Indonesia selalu menurun karena adanya
disparitas harga dan impor justru semakin meningkat dan lebih besar dari pada
ekspor, sehingga utang terhadap luar negeri justru selalu meningkat. Untuk
tahun 1968 utang sebesar US$ 400 juta diterima dan pada tahun 1969 US$ 500
juta, sedangkan pada tahun 1972 jumlah ini mencapai US$ 670 juta. Dilain pihak
pembayaran utang pada masa-masa lampau yang seharusnya sudah mulai dibayar pada
tahun 1969 malah ditunda pembayarannya (reschedule) dan usaha-usaha untuk
meningkatkan ekspor, menghasilkan kenaikan penerimaan devisa sebesar 14,9% pada
akhir tahun 1968 dibanding dengan tahun 1967. Pada tahun 1966 penerimaan
Indonesia dari hasil ekspor adalah US$ 450 juta dan Indonesia harus membayar
utang sebesar US$ 470 juta. Sedangkan pada tahun itu hasilnya dari ekspor
tersebut masih belum cukup untuk membayar impor barang-barang esensial untuk rehabilitasi
ekonomi Indonesia, sehingga akibatnya utang luar negeri tak dapat dibayar.
Oleh
sebab itu maka Indonesia mengundur pembayaran utangnya. Pertemuan-pertemuan
Tokyo, Paris dan Amsterdam pada tahun 1968nmenghasilkan persetujuan bahwa
Indonesia harus membayar utang sebesar US$ 500 juta per tahun, yang berarti 40%
daripadanya harus disisihkan untuk membayar hutang. Tetapi kalau hal itu
dijalankan maka Indonesia tentu tidak akan dapat mengadakan rehabilitasi
eknominya sama sekali, karena perekonomian Indonesia dalam keadaan sakit parah,
sedangkan debt service ratio sudah mencapai sekitar 40%: padahal ambang batas
utang luar negeri itu seharusnya debt service ratio sekitar 20-25%.
Perekonomian Indonesia pada waktu itu sangat memerlukan dana untuk investasi
dan impor barang maupun jasa guna rehabilisasi semua prasarana ekonomi seperti
jalan, jembatan, irigasi, listrik, air minum dan sebagainya.
Hingga tahun 1997, pembangunan di Indonesia selalu
dipuji oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Bahkan dalam laporan Bank
Dunia pada bulan Juni 1997, Indonesia mendapat predikat keajaiban atau
negara yang pertumbuhannya ajaib[9]. Sebelumnya jatuhnya Orde Baru, Bank Dunia
selalu memuji prestasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bahkan posisi Indonesia
ditempatkan sebagai salah satu negara berkembang yang sukses pembangunan
ekonominya, tanpa melihat proses pembangunan itu telah merusak dan menghabiskan
sumber daya alam yang ada, dan melilitkan Indonesia pada hutang luar negeri
yang sangat besar[10]
Satu hal penting yang dilupakan adalah bahwa semua
keberhasilan itu dicapai dengan hutang, sehingga menjadi bumerang ketika
Indonesia diterpa krisis pada tahun 1997. Seluruh bangunan ekonomi runtuh,
perusahaan-perusahaan bangkrut, pengangguran meledak, kemisikinan meningkat, sementara
beban hutang luar negeri semakin berat. Total hutang luar negeri sampai dengan
Desember 1998 mencapai US$ 144, 021 milyar, terdiri atas hutang swasta US$ 83,
572 milyar (58,03%). Dengan total penduduk 202 juta jiwa, beban hutang
perkapita mencapai US$ 703 pertahun. Artinya setiap bayi Indonesia yang lahir
saat itu sudah memikul beban hutang sebesar US$ 303 atau sekitar Rp.
2.400.000,00 pertahun[11].
Dalam laporan diskusi di harian Kompas, diperkirakan Indonesia baru akan dapat
membayar lunas hutangnya setelah 50 tahun. Dengan asumsi jumlah total hutang
luar negeri Indonesia pemerintah dan swasta sebesar US$ 140 milyar, untuk
melunasinya, rakyat Indonesia harus bekerja 24 jam sehari dengan upah Rp.
10.000,00 selama 50 tahun[12].
Masalah hutang luar negeri sebagai
sumber pembiayaan pembangunan (deficit budged) telah menjadi
perdebatan klasik, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam pemikiran
Rostow, posisi hutang luar negeri dianggap sebagai the missing link dalam mata rantai
pembangunan ekonomi. Dalam dunia praktis, hutang luar negeri merupakan vicious
cyrcle dalam pembangunan, khususnya negara-negara berkembang.
Tercatat beberapa kali dunia mengalami debt crisis yang hebat, misalnya
tahun 1930-an, 1980-an, 1980-an dan 1990-an hingga saat ini. Penyelesaian
hutang luar negeri masih merupakan problematika yang kompleks dan rumit
untuk dipecahkan[13].
BAB III
PEMBAHASAN
Perpindahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus
terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan kebijakan
pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran, pemerintah
melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar
negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan
berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur
perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan
industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif –
rasional. Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan
jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite
pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan
ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri, yang dimaksudkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan proyek yang terlibat
di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran rente ekonomi. Jadi,
pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan mobil dengan “pedal gas”
yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat terlihat dari rekayasa
pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan
dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar “setoran”
hutan[14]
Namun demikian, teknokrat para pembuat rancangan
kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang baik. Akhirnya
ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang menggiring ke jurang
krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh sistem ekonomi, yang
sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah menyebabkan ongkos
sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang terjadi juga sangat
luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa ini, yang tidak mungkin
tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan dengan kuat dan
sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi masa itu. Oleh karena itu,
tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam berbagai bidang ekonomi. Hal ini
utamanya terlihat dalam rancangan serta implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan
terhadap hutang luar negeri tersebut.
Faktor hutang luar negeri dalam rancangan pembangunan
ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak hanya dari sisi teknis
kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt service ratio
yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar negeri tersebut
telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim
usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya. Kerusakan aspek non
ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih
besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Distorsi-distorsi ekonomi terjadi karena diawali
dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan kelompok
kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode pembangunan ekonomi
serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal 1980-an. Namun
sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan lama karena
sumber daya pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam minyak dan non
minyak serta hutang luar negeri semakin terbatas, bahkan dari waktu ke waktu
semakin berkurang[15]
Disinilah kemudian terjadi kegagalan pemerintah (state
failure) dalam memainkan perannya di dalam sistem ekonomi politik yang
sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi politik menular ke lembaga
swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi, perburuan rente dan
inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang bertujuan
memacu arus masuk modal asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui logika dan
nalar berfikir seperti ini.
Pada awal tahun 1980-an kemudian terlihat
gejala-gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi karena masa bonansa ekspor minyak
mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak produktif sehingga harus
terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena pemborosan yang terjadi, maka
nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada produktifitas modal yang
diinjeksikan. Ekonomi Indonesia terus haus terhadap tambahan modal dan hutang
luar negeri. Bahkan pada pertengahan tahun 1980-an itu pertumbuhan hutang luar
negeri terus berlangsung dan justeru semakin besar. Ini menunjukkan bahwa
Indonesia sudah semakin terjerat dalam perangkap hutang luar negeri (debt
trap). Gejala ini berlangsung sejalan dengan semakin besarnya pelarian
modal negatif ke luar negeri karena pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang
sudah lebih besar dari jumlah hutang baru yang diterima.
Transaksi hutang luar negeri pemerintah telah menjadi
bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti dari akumulasi yang besar
dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran modal keluar melalui
transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan kesempatan investasi (oppurtunity
lost) sehingga daya dorong fiskal secara langsung dari tahun ke tahun mengalami
penurunan.
Kebanyakan penerimaan pemerintah dari pajak masuk ke
dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai untuk membayar hutang luar
negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia akhirnya memang menjadi catatan
sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat dicatat sebagai suatu kecelakaan
sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah tetap merasa santai seolah-olah
tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengurangi
hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan yang mengantisipasi dengan
cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga terus menumpuk tanpa
penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus dijalankan tanpa makna yang
berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut. Namun,
akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya sudah terlambat, penyakit sudah
terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga sulit rasanya untuk bisa keluar
dari cengkeraman hutang luar negeri.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan
sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang berasal dari
utang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif pada pertengahan
1980-an ketika terjadi transfer negatif. Utang pokok dan bunga yang dibayar
kepada negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari utang yang
diterima oleh pemerintah. Hubungan utang
dengan ekonomi rakyat terlihat pada dimensi APBN sekarang ini, yang sulit
dijelaskan sebagai bentuk anggaran suatu pemerintahan yang normal. APBN dengan
beban utang yang berat, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri,
merupakan simbol ketidakwajaran dari instrumen kebijakan ekonomi negara ini.
Dalam keadaan seperti ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu.
Pada satu sisi, utang luar negeri Indonesia sudah menjadi beban kronis dari
APBN sehingga anggaran negara tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk
manuver. Anggaran pengeluaran habis terkikis oleh pengeluaran untuk utang luar
negeri. Dengan demikian, APBN Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit
bergerak, kartu mati, dan bahkan mengganggu ekonomi nasional secara
keseluruhan.
Pada sisi lain, APBN sendiri merupakan instrumen kebijakan pemerintah, yang
sangat penting. Tetapi sekarang instrumen tersebut sudah menjadi kartu mati,
yang tidak bisa dipakai secara leluasa untuk kepentingan ekonomi masyarakat
luas, termasuk kepentingan ekonomi rakyat. Inilah mengapa utang luar Negeri
menjadi suatu pemicu bagi perekonomian Indonesia. Karena Indonesia sendiri
belum mampu mencicil apalagi melunasi utang-utang luar negeri dengan baik.
Justru Indonesia menjadi kecanduan akan utang luar negeri.
4.2
SARAN
Sebaiknya pemerintah segera bangkit dan bertindak dalam penanganan utang
luar negeri ini supaaya perekonomian di Indonesia tidak semakin menurun
melainkan meningkat ataupun stabil. Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam menangani utang luar negeri Indonesia yang semakin menjerat
yaitu sebagai berikut:
Pertama, Debt swap. Solusi yang paling sederhana mengatasi utang luar
negeri adalah dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui
skema debt swap, di mana sebagian utang luar negeri tersebut dikonversi dalam
bentuk program yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan
lingkungan, dan sebagainya. Program
debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50
juta (Rp250 miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam
bentuk proyekpendidikan.
Kedua.
Diplomasi ekonomi. Menurut Rachbini. 1994, masalah utang LN tidak
bisa lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka.
Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani utang luar negeri
yang salah dalam pengelolaannya. Kita tidak bisa secara terus-menerus
menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena
sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu kestabilan
ekonomi serta politik. Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus
terus menerus dijadikan program aksi (action program) untuk menghadapi lembaga
dan negara donor. Diplomasi ekonomi juga penting dilembagakan dengan
sasaran untuk memperoleh keringanan dan penghapusan sebagian hutang sehingga
proses pengurasan sumberdaya dapat dihambat.
Ketiga. Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh
mantan kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar negeri, harus ada
keberanian untuk menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada
kenyataanya Indonesia tidak dapat membayar kembali utang dan bunga yang jatuh
tempo. Hutang tersebut
hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi kekayaan negara. Dalam hal
utang dalam negeri, supaya menarik kembali OR yang masih dalam penguasaan
pemerintah melalui bank-bank yang masih milik pemerintah.
Keempat.
Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan
menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang
baru. Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar
yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap. Asumsi dasar
pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum
3% setahun dan maksimum 7% setahun. Angka terakhir pernah tercapai di
masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter
dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun. Asumsi dasar kedua
adalah menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10% setahun,
idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)-
Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar
bunga utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah
akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar. Asumsi ketiga
adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock
hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis
perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk
menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan
utang luar negeri. Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7%
setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock
utang lagi, maka (pasti) beban angsuran utang turun dan sebagai akibatnya kita
tidak perlu lagi membebani generasi mendatang dengan cicilan hutang.
Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa
dan negara ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik
untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas pengaruh
dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan menjerat negara ini
dengan utang yang sebesar mungkin[16]
DAFTAR
PUSTAKA
Bayu Ramdhan, Hutang Luar Negeri.
Diakses dari http://makalahutang.blogspot.co.id/ . Jumat, 01 januari 2016. 09:48.
D.J. Rachbini (c), Politik
Deregulasidan Agenda Kebijakan Ekonom. Jakarta: Infobank, 1994.
Edy Suandi
Hamid, Perekonomian
Indonesia Masalah dan Kebijakan Kontemporer. 2000. Yogyakarta:
UII Press.
Irham
Fahmi. S.E, M.E., “Ekonomoni Politik : Teori dan realita”. September. 2013.
Bandung: ALFABETA, cv.
Kaminsky, Graciela L dan Alfredo Preiera, The Debt
Crisis: Lessons of the 1980s for 1990s, Journal of Development
Economics, Vol. 50, 1996.
MB
HendrieAnto, Perspektif Islam Tentang Hutang Luar Negeri dan
Hutang Luar Negeri Negara-negara Islam. UNISIA No.. 43/XXIV/2001.
M. Suparmoko,
“Keuangan Negara”. Edisi Keenam. 2011. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Pieter
Lieftinck, “External Debt and Debt
Bearing Capacity of development Countries”, Essays in International
Finance, Departement of Economics, Princeton University. Princeton. New Jersey,
No. 1, March 1996.
RoemTopatimasang,
Hutang
itu Hutang.
1999. Yogyakarta: PustakaPelajar.
[1]EdySuandi Hamid, Perekonomian
Indonesia MasalahdanKebijakanKontemporer, (Yogyakarta:UII Press, 2000),
hlm. 67.
[2]Ibid., hlm.
74-75
[4]Ibid., hlm.
173
[5] Irham Fahmi. S.E, M.E., “Ekonomoni Politik : Teori dan realita”.
Halaman 23. September. 2013. Bandung:
ALFABETA, cv.
[6] M. Suparmoko, “Keuangan Negara”. Edisi Keenam. 2011. Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta.
[7] Pieter Lieftinck, “External Debt and Debt Bearing Capacity of development Countries”,
Essays in International Finance, Departement of Economics, Princeton
University. Princeton. New Jersey, No. 1, March 1996. Halaman 13.
[8] Irham Fahmi. S.E, M.E., “Ekonomoni Politik : Teori dan realita”.
Halaman 29-30. September. 2013. Bandung:
ALFABETA, cv.
[9] Kaminsky, Graciela L dan Alfredo Preiera, The Debt
Crisis: Lessons of the 1980s for 1990s, Journal of Development
Economics, Vol. 50, 1996. Halaman 180
[13]MB HendrieAnto, Perspektif
Islam TentangHutangLuarNegeridanHutangLuarNegeri Negara-negara Islam. UNISIA
No.. 43/XXIV/2001, hlm. 479
[14] D.J. Rachbini (c), Politik
Deregulasidan Agenda Kebijakan Ekonom, (Jakarta: Infobank, 1994), hlm.
7-38.
[15] D.J Rachbini, Ibid
[16] Pembahasan saran di akses
dari http://makalahutang.blogspot.co.id/ oleh Bayu Ramdhan pada 1 Januari 2015