Sabtu, 02 April 2016

Hutang Luar Negeri Pemicu Krisis Ekonomi di Indonesia

HUTANG LUAR NEGERI PEMICU KRISIS EKONOMI INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Ekonomi dalam suatu bangsa adalah suatu hal yang sangat vital. Negara yang memiliki ekonomi yang kuat dapat dipastikan bahwa negarannya tersebut mampu menjamin kesejahteraan warga negarannya, baik dalam hal pendidikan, sosial-budaya, perkembangan pembangunan infrastrukturnya ataupun dalam segi yang lain. Berbeda dengan negara yang memiliki kondisi perekonomian yang lemah. Negara dengan kondisi ekonomi yang lemah cenderung memiliki kehidupan yang kurang layak dari berbagai aspek. Seperti terjadinnya kemiskinan diberbagai wilayah, ketidakrataan perekonomian tiap daerah ataupun masalah penumpukan hutang yang menyebabkan perekonomian pada negara tersebut semakin krisis. Ketika krisis ekonomi telah melanda maka warga negarannya pun sudah kehilangan sebuah kemanan dan kenyamanan untuk tinggal pada negarannya sendiri.
Negara Indonesia yang selama ini dipandang sebagai negara stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis, ternyata begitu ditimpa badai krisis, seluruh bangunan ekonominya runtuh, persatuan nasional Indonesiapun mengalami kerapuhan.  Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi, menunjukkan kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun. Praktek monopoli, konglomerasi dan ekonomi kapitalistik mematikan usaha-usaha ekonomi kerakyatan, memperluas kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Kondisi ini semakin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis istilah hutang luar negeri dengan bantuan luar negeri. Celakanya lagi hutang luar negeri/ bantuan luar negeri dari negara-negara donor, dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak yang dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tingkat kebocoran ini cukup signifikan, menurut begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mencapai 30% dari total anggaran pembangunan[1].
Jefrey A. Winters, seorang ekonom dari Northwestern University AS mengemukakan bahwa paling tidak sepertiga dari bantuan (pinjaman) Bank Dunia untuk Indonesia bocor di birokrasi Indonesia. Dalam hasil survey Transparancy International terhadap 52 negara, Indonesia menempati peringkat ke-7 dan di antara negara ASEAN, berada pada peringkat pertama[2].
Pada dasawarsa 1990-an, jumlah hutang luar negeri Indonesia menempati peringkat ke-5 di antara negara dunia ketiga, setelah Meksiko, Brazil, India dan Argentina[3]. Akibat krisis ekonomi yang sangat parah ini, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan rasio stock hutang per GDP tertinggi di dunia, mengalahkan negara-negara yang selama ini terkenal sebagai pengutang terbesar, seperti Meksiko, Brazil dan Argentina[4].Persoalan hutang luar negeri ini bila tidak diselesaikan dengan baik akan dapat menghambat pemulihan ekonomi dan menjatuhkan martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Dalam makalah ini akan dipaparkan bagaimana kebijakan makro ekonomi Islam terhadap persoalan hutang dan solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan krisis hutang luar negeri secara baik, manusiawi dan berkeadilan sosial.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan hutang luar negeri?
2.      Apakah penyebab dari hutang luar negeri?
3.      Beban apa sajakah yang ditimbulkan dari hutang luar negeri?
4.      Bagaimana hutang luar negeri dapat menyebabkan krisis perekonomian di Indonesia?
1.3  TUJUAN DAN MANFAAT
1.      Melengkapi nilai tugas mata kuliah Manajemen Pembangunan Daerah
2.      Mengetahui pengertian dari hutang dan hutang luar negeri
3.      Mengetahui penyebab hutang luar negeri
4.      Mengetahui dampak hutang luar negeri bagi Indonesia



BAB II
LANDASAN TEORI
Suatu Negara harus melakukan berbagai kegiatan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, budaya maupun politik bangsanya. Kegiatan-kegiatan ini memerlukan banyak pengeluaran yang pada gilirannya harus dibiayai dengan penerimaan negara. Sumber penerimaan Negara yang utama adalah dari pajak, utang negara dan pencetakan uang. Terkait dengan masalah sumber-sumber pembiayaan pembangunan negara, di samping sisa penerimaan dalam negara setelah digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin (yang disebut dengan tabungan negara), besarnya penerimaan hasil eskpor yang berupa devisa, hasil penghematan pengunaan devisa melalui usaha-usaha impor substitusi dan juga tidak kalah penting adalah masalah utang negara (pinjaman negara) baik dari dalam maupun luar negeri.
Definisi utang itu sendiri ialah kewajiban yang harus diselesaikan sesuai dengan kesepakatan dari pihak yang terlibat di sana, dimana berbagai ketentuan tersebut mengandung hak dan kewajiban sebagai bentuk kompensasi[5]. Sedangkan yang dimaksud dengan Utang luar negeri adalah utang yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain. Utang Luar negeri biasanya bersifat sukarela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas negara lain. Utang luar negeri mencakup pemindahan kekayaan (dana) dari negara yang meminjamkan (kreditur) ke negara peminjam ( debitur) pada saat terjadinya utang. Aliran kekayaan yang sebaliknya akan terjadi apablia terdapat pembayaran bunga dan cicilan pokok utang yang bersangkutan. Utang luar negeri dapat menjadi utang dalam negeri apabila terjadi pembeliaan surat-surat obligasi atau surat berharga oleh penduduk negara debitur dari negara kreditur[6].
Utang Luar Negeri biasannya timbul karena suatu Negara mengalami kekurangan dana berhubung terbatasnya sumber-sumber dana didalam negeri. Bagi Negara-negara yang sedang berkembang yang ingin mempercepat laju pertumbuhan ekonominya dan kemudian dapat menyamai taraf hidup di Negara-negara maju, investasi dalam jumlah yang besar perlu dijalankan, sehingga hasilnya tidak akan hanya diserap oleh pertambahan penduduk. Memang dibanyak Negara yang sedang berkembang, umumnya tingkat investasi adalah rendah (4-5% per tahun dari pendapatan nasional), sehingga Negara-negara tersebut seringkali berada pada perangkap pendapatan keseimbangan yang rendah (law level equilibrium trap)[7]. Kalau suatu negara mempunyai utang, maka pengelolaan dari utang Negara itu sangat penting demi kestabilan dan pertumbuhaan dari pendapatan nasional.
      Secara umum ada beberapa persoalan yang sering terjadi dimana utang atau pinjaman yang dianggap sebagai solusi dalam pembangunan namun telah berubah sebagai petaka. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapa sebab, seperti:
1.      Terjadinya fluktuasi harga komoditi eskpor suatu Negara yang cenderung semakin menurun. Sehingga menyebabkan stabilitas harga tidak tercapai pada titik yang diharapkan. Kondisi ini menyebabkan pendapatan atau devisa Negara menurun.
2.      Krisis ekonomi dan depresi ekonomi yang melanda suatu Negara bahkan kawasan. Seperti krisis pada tahun 1997, krisisi Yunani 2012. Serta deepresi besar di tahun 1929 sampai dengan tahun 1932.
3.      Tindakan coup d’etat. Coup d’etat atau kudeta adalah suatu tindakan yang dilakukan secara illegal dan bersifat memaksa untuk menjatuhkan jabatan seseorang karena factor tidak dipercaya lagi.
4.      Terjadinya demonstrasi yang berlarut-larut. Dampak demonstrasi yang berlarut-larut ini sangat terasa terutama pada sector bisnis yang mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas produksi dan penjualan. Kasus demonstrasi tahun 1998 di Indonesia juga menjadi penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah dan berlanjut hingga timbulnya krisis monoter.[8]
Beban utang luar negeri dapat dibedakan menjadi beban dalam arti uang (in money term) dan beban dalam arti riil (in real term). Selama jangka waktu tertentu, beban uang langsung dapat diukur dengan suatu jumlah pembayaran tertentu dalam bentuk uang. Baik dalam hal pembayaran bunga maupun cicilan utang kepada Negara kreditur. Sedangkan beban riil langsung yang diderita Negara peminjam berupa kerugian dalam bentuk kesejahteraan ekonomi yang hilang karena adanya pembayaran cicilan utang dan bunga dalam bentuk uang tadi. Hilangnya kesejahteraan ekonomi ini dapat diukur dengan besarnya guna (utility) yang hilang dari Negara tersebut sebagai akibat dari berbagai macam pembayaran utang.
            Oleh karenanya meskipun beban uang langsung itu tetap besarnya, beban riil langsung akan berbeda-beda sesuai dengan proporsisi sumbangan anggota masyarakat terhadap pembayaran utang tersebut. Jika pembayaran itu dipikul terutama oleh golongan kaya, beban langsung riil akan lebih ringan daripada kalau pembayaran itu dipikul oleh golongan-golongan yang kurang mampu atau golongan miskin. Tetapi seringkali Negara-negara kreditur mempergunakan hasil pembayaran bunga dan piutang itu untuk membeli barang dan jasa (mengimpor) dari Negara-negara debitur itu sendiri, sehingga akan mengakibatkan ekspor Negara debitur meningkat. Ini lebih menguntungkan Negara debitur tersebut karena Negara debitur dapat menjual barang atau jasa ke Negara kreditur.
            Beban tidak langsung dari utang luar negeri apakah itu dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk riil timbul karena adannya pengaruh-pengaruh yang terjadi dalam bidang produksi dan konsumsi melalui pemungutan pajak yang diperlukan untuk melakukan pembayaran-pembayaran bunga dan cicilan utang serta melalui duksi dengan dana hasil utang tersebut.
            Utang luar negeri ini memiiliki atau menghadapi beberapa rintangan atau pembatasan. Batasan umum adalah mengenai kapasitas Negara peminjam tersebut untuk membayar kembali utang dan bunga-nya di masa yang akan datang. Di Negara-negara sedang berkembang, oleh karena lambannya pertumbuhan ekspor hasil-hasil produksi primer, penerimaan devisa dari hasil ekspor itu dipergunakan untuk mengimpor barang-barang yang perlu bagi pembangunan ekonomi dan hanya jumlah tertentu yang dipakai untuk membayar kembali utang dan bunganya.
            Selama masa inflasi tahun 1960-an penerimaan devisa dari hasil ekspor Indonesia selalu menurun karena adanya disparitas harga dan impor justru semakin meningkat dan lebih besar dari pada ekspor, sehingga utang terhadap luar negeri justru selalu meningkat. Untuk tahun 1968 utang sebesar US$ 400 juta diterima dan pada tahun 1969 US$ 500 juta, sedangkan pada tahun 1972 jumlah ini mencapai US$ 670 juta. Dilain pihak pembayaran utang pada masa-masa lampau yang seharusnya sudah mulai dibayar pada tahun 1969 malah ditunda pembayarannya (reschedule) dan usaha-usaha untuk meningkatkan ekspor, menghasilkan kenaikan penerimaan devisa sebesar 14,9% pada akhir tahun 1968 dibanding dengan tahun 1967. Pada tahun 1966 penerimaan Indonesia dari hasil ekspor adalah US$ 450 juta dan Indonesia harus membayar utang sebesar US$ 470 juta. Sedangkan pada tahun itu hasilnya dari ekspor tersebut masih belum cukup untuk membayar impor barang-barang esensial untuk rehabilitasi ekonomi Indonesia, sehingga akibatnya utang luar negeri tak dapat dibayar.
Oleh sebab itu maka Indonesia mengundur pembayaran utangnya. Pertemuan-pertemuan Tokyo, Paris dan Amsterdam pada tahun 1968nmenghasilkan persetujuan bahwa Indonesia harus membayar utang sebesar US$ 500 juta per tahun, yang berarti 40% daripadanya harus disisihkan untuk membayar hutang. Tetapi kalau hal itu dijalankan maka Indonesia tentu tidak akan dapat mengadakan rehabilitasi eknominya sama sekali, karena perekonomian Indonesia dalam keadaan sakit parah, sedangkan debt service ratio sudah mencapai sekitar 40%: padahal ambang batas utang luar negeri itu seharusnya debt service ratio sekitar 20-25%. Perekonomian Indonesia pada waktu itu sangat memerlukan dana untuk investasi dan impor barang maupun jasa guna rehabilisasi semua prasarana ekonomi seperti jalan, jembatan, irigasi, listrik, air minum dan sebagainya.
Hingga tahun 1997, pembangunan di Indonesia selalu dipuji oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Bahkan dalam laporan Bank Dunia pada bulan Juni 1997, Indonesia mendapat predikat keajaiban atau negara yang pertumbuhannya ajaib[9]. Sebelumnya jatuhnya Orde Baru, Bank Dunia selalu memuji prestasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bahkan posisi Indonesia ditempatkan sebagai salah satu negara berkembang yang sukses pembangunan ekonominya, tanpa melihat proses pembangunan itu telah merusak dan menghabiskan sumber daya alam yang ada, dan melilitkan Indonesia pada hutang luar negeri yang sangat besar[10]
Satu hal penting yang dilupakan adalah bahwa semua keberhasilan itu dicapai dengan hutang, sehingga menjadi bumerang ketika Indonesia diterpa krisis pada tahun 1997. Seluruh bangunan ekonomi runtuh, perusahaan-perusahaan bangkrut, pengangguran meledak, kemisikinan meningkat, sementara beban hutang luar negeri semakin berat. Total hutang luar negeri sampai dengan Desember 1998 mencapai US$ 144, 021 milyar, terdiri atas hutang swasta US$ 83, 572 milyar (58,03%). Dengan total penduduk 202 juta jiwa, beban hutang perkapita mencapai US$ 703 pertahun. Artinya setiap bayi Indonesia yang lahir saat itu sudah memikul beban hutang sebesar US$ 303 atau sekitar Rp. 2.400.000,00 pertahun[11]. Dalam laporan diskusi di harian Kompas, diperkirakan Indonesia baru akan dapat membayar lunas hutangnya setelah 50 tahun. Dengan asumsi jumlah total hutang luar negeri Indonesia pemerintah dan swasta sebesar US$ 140 milyar, untuk melunasinya, rakyat Indonesia harus bekerja 24 jam sehari dengan upah Rp. 10.000,00 selama 50 tahun[12].
Masalah hutang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan (deficit budged) telah menjadi perdebatan klasik, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam pemikiran Rostow, posisi hutang luar negeri dianggap sebagai the missing link dalam mata rantai pembangunan ekonomi. Dalam dunia praktis, hutang luar negeri merupakan vicious cyrcle dalam pembangunan, khususnya negara-negara berkembang. Tercatat beberapa kali dunia mengalami debt crisis yang hebat, misalnya tahun 1930-an, 1980-an, 1980-an dan 1990-an hingga saat ini. Penyelesaian hutang luar negeri masih merupakan  problematika yang kompleks dan rumit untuk dipecahkan[13].

BAB III
PEMBAHASAN
Perpindahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif – rasional.  Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri, yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar “setoran” hutan[14]
Namun demikian, teknokrat para pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan dengan kuat dan sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut.
Faktor hutang luar negeri dalam rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt service ratio yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar negeri tersebut telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya. Kerusakan aspek non ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Distorsi-distorsi ekonomi terjadi karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan kelompok kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode pembangunan ekonomi serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal 1980-an. Namun sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan lama karena sumber daya pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam minyak dan non minyak serta hutang luar negeri semakin terbatas, bahkan dari waktu ke waktu semakin berkurang[15]
Disinilah kemudian terjadi kegagalan pemerintah (state failure) dalam memainkan perannya di dalam sistem ekonomi politik yang sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi politik menular ke lembaga swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi, perburuan rente dan inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang bertujuan memacu arus masuk modal asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui logika dan nalar berfikir seperti ini.
Pada awal tahun 1980-an kemudian terlihat gejala-gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi karena masa bonansa ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak produktif sehingga harus terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena pemborosan yang terjadi, maka nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada produktifitas modal yang diinjeksikan. Ekonomi Indonesia terus haus terhadap tambahan modal dan hutang luar negeri. Bahkan pada pertengahan tahun 1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus berlangsung dan justeru semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin terjerat dalam perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini berlangsung sejalan dengan semakin besarnya pelarian modal negatif ke luar negeri karena pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang sudah lebih besar dari jumlah hutang baru yang diterima.
Transaksi hutang luar negeri pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan.
Kebanyakan penerimaan pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.

BAB IV
PENUTUP
4.1  KESIMPULAN
Utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang berasal dari utang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif pada pertengahan 1980-an ketika terjadi transfer negatif. Utang pokok dan bunga yang dibayar kepada negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari utang yang diterima oleh pemerintah.  Hubungan utang dengan ekonomi rakyat terlihat pada dimensi APBN sekarang ini, yang sulit dijelaskan sebagai bentuk anggaran suatu pemerintahan yang normal. APBN dengan beban utang yang berat, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri, merupakan simbol ketidakwajaran dari instrumen kebijakan ekonomi negara ini. Dalam keadaan seperti ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu.
Pada satu sisi, utang luar negeri Indonesia sudah menjadi beban kronis dari APBN sehingga anggaran negara tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk manuver. Anggaran pengeluaran habis terkikis oleh pengeluaran untuk utang luar negeri. Dengan demikian, APBN Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit bergerak, kartu mati, dan bahkan mengganggu ekonomi nasional secara keseluruhan.
Pada sisi lain, APBN sendiri merupakan instrumen kebijakan pemerintah, yang sangat penting. Tetapi sekarang instrumen tersebut sudah menjadi kartu mati, yang tidak bisa dipakai secara leluasa untuk kepentingan ekonomi masyarakat luas, termasuk kepentingan ekonomi rakyat. Inilah mengapa utang luar Negeri menjadi suatu pemicu bagi perekonomian Indonesia. Karena Indonesia sendiri belum mampu mencicil apalagi melunasi utang-utang luar negeri dengan baik. Justru Indonesia menjadi kecanduan akan utang luar negeri.


4.2  SARAN
Sebaiknya pemerintah segera bangkit dan bertindak dalam penanganan utang luar negeri ini supaaya perekonomian di Indonesia tidak semakin menurun melainkan meningkat ataupun stabil. Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menangani utang luar negeri Indonesia yang semakin menjerat yaitu sebagai berikut:
Pertama, Debt swap.  Solusi yang paling sederhana mengatasi utang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk program yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya.  Program debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50 juta (Rp250 miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam bentuk proyekpendidikan.
Kedua. Diplomasi ekonomi.  Menurut Rachbini. 1994,  masalah utang LN tidak bisa lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka.  Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani utang luar negeri yang salah dalam pengelolaannya.  Kita tidak bisa secara terus-menerus menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu kestabilan ekonomi serta politik. Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus dijadikan program aksi (action program) untuk menghadapi lembaga dan negara donor.  Diplomasi ekonomi juga penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya dapat dihambat.
Ketiga.  Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar negeri, harus ada keberanian untuk menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia tidak dapat membayar kembali utang dan bunga yang jatuh tempo.  Hutang tersebut hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi kekayaan negara.  Dalam hal utang dalam negeri, supaya menarik kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah melalui bank-bank yang masih milik pemerintah. 
Keempat.  Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang baru.  Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap.  Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun.  Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun.  Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)- Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar. Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar negeri.  Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7% setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock utang lagi, maka (pasti) beban angsuran utang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani generasi mendatang dengan cicilan hutang.
Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan menjerat negara ini dengan utang yang sebesar mungkin[16] 





DAFTAR PUSTAKA

Bayu Ramdhan, Hutang Luar Negeri. Diakses dari http://makalahutang.blogspot.co.id/ . Jumat, 01 januari 2016. 09:48.
D.J. Rachbini (c), Politik Deregulasidan Agenda Kebijakan Ekonom. Jakarta: Infobank, 1994.
Edy Suandi Hamid, Perekonomian Indonesia Masalah dan Kebijakan Kontemporer. 2000. Yogyakarta: UII Press.

Irham Fahmi. S.E, M.E., “Ekonomoni Politik : Teori dan realita”. September. 2013. Bandung: ALFABETA, cv.

Kaminsky, Graciela L dan Alfredo Preiera, The Debt Crisis: Lessons of the 1980s for 1990s,  Journal of Development Economics, Vol. 50, 1996.
MB HendrieAnto, Perspektif Islam Tentang Hutang Luar Negeri dan Hutang Luar Negeri Negara-negara Islam. UNISIA No.. 43/XXIV/2001.

M. Suparmoko, “Keuangan Negara”. Edisi Keenam. 2011. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Pieter Lieftinck, “External Debt and Debt  Bearing Capacity of development Countries”, Essays in International Finance, Departement of Economics, Princeton University. Princeton. New Jersey, No. 1, March 1996.
RoemTopatimasang, Hutang itu Hutang. 1999. Yogyakarta: PustakaPelajar.








[1]EdySuandi Hamid, Perekonomian Indonesia MasalahdanKebijakanKontemporer, (Yogyakarta:UII Press, 2000), hlm. 67.
[2]Ibid., hlm. 74-75
[3]RoemTopatimasang, HutangituHutang, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1999), hlm. 8.
[4]Ibid., hlm. 173                                                                                                                                                                            
[5] Irham Fahmi. S.E, M.E., “Ekonomoni Politik : Teori dan realita”. Halaman 23.  September. 2013. Bandung: ALFABETA, cv.
[6] M. Suparmoko, “Keuangan Negara”. Edisi Keenam. 2011. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
[7] Pieter Lieftinck, “External Debt and Debt  Bearing Capacity of development Countries”, Essays in International Finance, Departement of Economics, Princeton University. Princeton. New Jersey, No. 1, March 1996. Halaman 13.
[8] Irham Fahmi. S.E, M.E., “Ekonomoni Politik : Teori dan realita”. Halaman 29-30.  September. 2013. Bandung: ALFABETA, cv.
[9] Kaminsky, Graciela L dan Alfredo Preiera, The Debt Crisis: Lessons of the 1980s for 1990s,  Journal of Development Economics, Vol. 50, 1996. Halaman 180
[10] Edy Suandi Hamid, Perekonomian Indonesia, hlm. 69
[11] Roem Topatimasang, Hutang itu Hutang, hlm. 173
[12] Roem Topatimasang, Ibid., hlm. 180
[13]MB HendrieAnto, Perspektif Islam TentangHutangLuarNegeridanHutangLuarNegeri Negara-negara Islam. UNISIA No.. 43/XXIV/2001, hlm. 479
[14] D.J. Rachbini (c), Politik Deregulasidan Agenda Kebijakan Ekonom, (Jakarta: Infobank, 1994), hlm. 7-38.
[15] D.J Rachbini, Ibid
[16] Pembahasan saran di akses dari http://makalahutang.blogspot.co.id/ oleh Bayu Ramdhan pada 1 Januari 2015

Rabu, 02 Maret 2016

KETIKA IMPIAN BERKHIANAT


Kamu boleh bermimpi apapun yang kamu mau. Asalkan kamu tidak boleh bersedih ketika impian yang kau inginkan tak sesuai dengan harapan. Percayalah apapun yang terjadi adalah cara Tuhan mengarahkanmu pada kehidupan yang lebih baik. Hey bung, kertas putihmu masih banyak kan? Oke, sekarang angkat kepalamu dan tulis impian barumu! J

Inilah aku, seorang gadis biasa yang memiliki cita-cita yang sepertinya sulit untuk aku gapai mengingat siapa diriku sekarang. Aku masih teringat betul, waktu itu aku menuliskan sederet mimpi-mimpiku pada sebuah kertas kecil yang aku lipat menjadi sebuah pesawat. Aku berkata dalam hati “Wahai pesawat, bawalah segala mimpi-mimpiku terbang ke tempat yang sangat tinggi. Tenang saja, aku akan meraihnya!” lalu aku menerbangkan pesawat itu dengan perasaan senang dan penuh semangat. Aku selalu yakin bahwa salah satu mimpi yang aku terbangkan itu akan menjadi sebuah kenyataan.
Seiring berjalannya waktu, keyakinan itu terus bertambah dan tertanam dalam hatiku. Hingga sampai pada titik yang membuatku merasa “Inilah jalanku! Inilah impianku! Inilah cita-cita yang kuterbangkan tinggi dilangit. Dan kini aku benar-benar meraihnya!”. Namun sebuah titik yang kupercaya bahwa aku telah berhasil meraihnya ternyata hanyalah bayangan semu. Dia hanyalah sebuah titik. Titik yang tak pernah menjadi sebuah garis panjang yang kuidamkan. Titik yang nyatanya tak bisa kupegang. Entahlah mengapa titik itu mengkhianatiku, em bukan bukan. Bukan titik yang mengkhianatiku namun diriku sendiri. Aku lah penyebab semuanya sirna. Aku lah penyebab utama dari semuanya!
Aku yang bodoh. Aku yang gegabah. Aku yang ceroboh. Aku yang labil. Aku yang tak mempercayai diri sendiri. Aku yang membiarkan impian itu berubah menjadi sebuah omong kosong! Jujur saja, kala itu aku tak memahami siapa diriku sebenarnya. Disisi lain aku sangat bahagia melihat impianku telah berada pada genggaman yang kuat. Namun disisi lain aku merasa sedih. Aku tak yakin betul apa yang membuatku merasa sedih. Hanya saja perasaanku tidak enak kala itu. Ya, aku memang bodoh. Hanya karena perasaan yang tidak enak, dengan mudahnya aku melepaskan keinginan itu dari genggamanku tanpa berpikir secara logis.
Namun kini, aku adalah aku. Aku yang telah memilih melepaskan salah satu impian dari pesawatku. Dan memilih jalan lain yang belum pernah aku lalui sebelumnya. Kini aku adalah aku yang telah nyaman menjadi diriku yang sekarang. Takkan lagi ku sesali apa yang telah kulepas. Bukankah hidup akan terus berjalan? Apapun yang kita lepaskan pada masa lalu itulah kunci penentu masa depan. Jadi, yang perlu aku lakukan ialah tidak lagi meratapi impian yang telah kulepas namun berbuat yang terbaik atas pilihan yang kugenggam saat ini. Tetaplah berevolusi dalam kebaikan walau impian telah mengkhianatimu. –Rizmufa-


Selasa, 23 Februari 2016

Apa yang dimaksud dengan Administrasi?




Disini saya akan memaparkan pengertian dari Administrasi. Pengertian Administrasi ini saya peroleh dari dua sumber. Yaudah yuk langsung kita simak pengertiannya ^^

Nah, Pengertian Administrasi itu dibagi menjadi dua yaitu:
A. Pengertian Administrasi dalam arti Luas
B Pengertian Administrasi dalam arti sempit

A. Pengertian Administrasi dalam arti Luas

Sebelum memasuki pengertian Administrasi secara luas dan menyeluruh, saya akan mencantumkan pengertian Administrasi dari beberapa Ahli, guna memudahkan pemahaman kita mengenai pengertian Administrasi secara luas ini.

1. Menurut Prajudi Atmosudirjo 
Administrasi merupakan suatu fenomena sosial, yaitu perwujudan tertentu di dalam masyarakat modern. Eksistensi administrasi ini berkaitan dengan organisasi. Jadi, barangsiapa hendak mengetahui adannya administrasi dalam masyarakat ia harus mencari terlebih dahulu suatu organisasi yang masih hidup, di situ terdapat administrasi.

2. Menurut Sondang P. Siagan
Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

3. Menurut Hadari Nawawi
Administrasi adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan sebagai proses pengendaliaan usaha kerja sama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dari definisi para ahli tersebut, bahwa pada prinsipnya pengertian Administrasi memiliki pengertian yang sama yaitu: 

a. Kerja sama
b. Banyak orang dan
c, Untuk mencapai tujuan bersama

Sehingga pengertian Administrasi secara luas dapat kita ketahui secara ringkas yaitu :
Sesungguhnya istilah administrasi berhubungan dengan kegiatan kerja sama yang dilakukan manusia atau sekelompok orang hingga tercapai tujuan yang diinginkan. Kerja sama adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama, teratur dan terarah berdasarkan pembagian tugas sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun ilmu yang mempelajari fenomena kerja sama yang bersifat kooperatif dan terorganisasi untuk mencapai tujuan adalah ilmu administrasi. ( Berasal dari lata Administration: Bahasa Inggris)
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci beberapa ciri pokok untuk disebut sebagai administrasi, yaitu:
1. Sekelompok orang; artinya kegiatan administrasi hanya mungkin terjadi jika dilakukan lebih dari satu orang.
2. Kerja sama; artinya kegiatan administrasi hanya mungkin terjadi jika dua orang atau lebih bekerja sama.
3. Pembagian tugas; artinya kegiatan administrasi bukan sekadar kegiatan kerja sama, melainkan kerja sama tersebut harus didasarkan pada pembagian kerja yang jelas.
4. Kegiatan yang runtut dalam suatu proses; artinya kegiatan administrasi berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu secara berkesinambungan.
5. Tujuan; artinya sesuatu yang diinginkan untuk dicapai memlalui kegiatan kerja sama.

Adapun unsur-unsur Administrasi secara luas yaitu:
a. Pengorganisasian
b. Manajemen
c. Tata Hubungan
d. Keuangan
e. Perbekalan
f. Tata Usaha
g. Perwakilan.

B. Pengertian Administrasi dalam arti Sempit
Administrasi dalam arti sempit ini berasal dari kata Administratie dari bahasa Belanda, yang meliputi kegiatan catat mencatat, surat menyurat, pembukuan ringan, ketik mengetik, agenda dsb, yang bersifat teknis ketatausahaan (clerical work). Dengan demikian tata usaha adalah bagian kecil kegiatan dari Administrasi, Administrasi dalam arti sempit merupakan penyusunan dan pencatatan data dan informasi secara sistematis dengan maksud untuk menyediakan keterangan serta memudahkan memperolehnya kembali secara keseluruhan dan dalam hubungannya satu sama lain. 
Sehingga pengertian Administrasi dalam arti sempit ini lebih tepat disebut dengan istilah “Tata Usaha”. Tata Usaha ini merupakan salah satu dari unsur pelaksanaan Administrasi secara luas. Kegiatan Tata Usaha ini dapat dirangkum dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Korespondensi (correspondence) atau surat-menyurat yaitu rangkaian aktivitas yang berkenaan dengan pengiriman informasi secara tertulis mulai dari penyusunan, penulisan sampai dengan pengiriman informasi hingga sampai kepada pihak yang dituju.
2. Ekspedisi (expedition), yaitu aktivitas mencatat setiap informasi yang dikirim atau diterima, baik untuk kepentingan intern maupun ekstern.
3. Pengarsipan (filing), yaitu suatu proses pengaturan dan penyimpanan informasi secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dan cepat ditemukan setiap diperlukan.



Sumber :
1. "Sistem Administrasi Negara, Republik Indonesia (SANRI)" karangan Drs. H. Inu Kencana Syafile, M. Si, penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta.

2. http://edimansure.blogspot.co.id/2013/02/administrasi-dalam-arti-sempit-dan-luas.html


Terimakasih sudah membaca ^,^